Wednesday, December 4, 2013

27.1 Menangani 'Django' (1)

MENANGANI ‘DJANGO’ (1)
DARI SUKIYAKI KE DJANGGO
Oleh: Nathan Mintaraga

Tidak pernah terduga bahwa tema lagu sebuah film Italia termasyhur tahun 60-an, ‘Django’ (1966), yang pada waktu itu dikenal sebagai salah satu ‘Spaghetti Westerns’ tersukses era tersebut, bakal dinyanyikan dan direkam oleh Lilis Suryani dalam bahasa aslinya. Hasil gubahan Luis Bacalov dan Franco Migliacci, di dalam movie itu Roberto Fia, seorang penyanyi Italia yang cukup dikenal secara lokal, mengalunkan lagu itu.

Setelah merilis lagu Sukiyaki dalam bahasa Jepang diiringi oleh band Eka Sapta tahun 1964, sampai saat itu tidak pernah lagi Lilis merekam lagu-lagu yang berbahasa asing lainnya. (Lihat artikel: Eka Sapta – Satu Terulung Tujuh Termahir)

Memang semenjak radio-radio amatir mulai tumbuh di seluruh pelosok tanah air laksana jamur-jamur liar di musim hujan, baik di kota-kota besar maupun di pedalaman, jangkauan pendengar bagi para artis nasional menjadi jauh lebih luas. Lagu-lagu mereka tidak tergantung lagi pada siaran-siaran radio atau televisi negara saja (RRI/TVRI), yang biasanya mempunyai peraturan-peraturan keras mengenai jenis-jenis musik yang diperbolehkan atau dilarang. Radio-radio amatir itulah yang mendobrak sistim monopoli tersebut.

Berbagai jenis musik yang mempunyai penggemar-penggemar tersendiri, dari yang berbahasa asing, berirama dangdut, sampai lagu-lagu keroncong tradisional, oriental dan lain sebagainya, mulai saat itu bisa disalurkan melalui acara-acara siaran radio-radio swasta tersebut. Benar-benar evolusi dunia broadcasting di Indonesia yang secara tidak langsung membantu mempengaruhi perubahan arah berkembangnya dunia musik pop nasional era itu.

Ernie Djohan diakui sebagai artis pertama yang berhasil menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia memulai masa keemasannya tepat pada waktunya. Ketika trend itu baru saja dimulai, secara berturut-turut ia merilis tiga album mini (EP) 1 yang berisi lagu-lagu barat (covers), pertama-tama di bawah label Philips (Singapura), dan kemudian dirilis lagi di Indonesia oleh Remaco: ‘To Sir with Love’ (1967), ‘I’m a Tiger’ (1968) dan ‘Gardens of My Home’ (1968).

Kemahirannya berbahasa Inggris membuat namanya yang sudah sangat terkenal semenjak album (LP) 2 ‘Kau Selalu Dihatiku’ 3 (1967) dirilis, menjadi semakin tersohor di seluruh Nusantara gara-gara ketiga album mini tersebut. Bahkan ia dijuluki sebagai Lulu versi Indonesia oleh karena warna suaranya terdengar mirip dengan suara artis remaja Inggris yang saat itu sedang ‘ngetop sekali di dunia.

Tema lagu film termasyhur ‘To Sir with Love’, serta lagu-lagu I’m a Tiger dan Let’s Pretend, yang di-cover oleh Ernie Djohan secara persis sekali, adalah lagu-lagu yang sebelumnya sudah ditenarkan di seluruh dunia oleh Lulu. (Lihat artikel: Kau Selalu di Hatiku (2) – Memuncak di Teluk Bayur)

Oleh karena kesuksesan fenomenal yang berhasil diraih oleh Ernie Djohan melalui ketiga EPs yang mengandung 12 lagu barat tersebut, banyak artis lain mencoba mengikuti jejaknya. Tidak lama sesudahnya Djoko Susilo merekam lagu Walk Away untuk album kompilasi berseri karya Remaco, ‘Aneka 12 vol 2’ (1968). Diikuti oleh Tetty Kadi, yang dengan ‘berani’ sekali merilis sebuah album berisi 12 lagu barat (LP), ‘Ob-La-Di Ob-La-Da’ (1968). Demikian juga Titiek Sandhora dan Muchsin yang merekam untuk pertama dan terakhir kalinya sebuah lagu dalam bahasa Inggris, ‘Don’t Make Me Over’ (1970).

Kira-kira dalam waktu yang bersamaan Dara Puspita, Pattie Bersaudara, Bob Tutupoly, Diah Iskandar, Tanti Josepha, Emilia Contessa, Vivi Sumanti, Broery Marantika dan lain sebagainya, juga mengikuti arus kecenderungan yang sedang melanda tanah air tersebut.

Tetapi berbeda dengan Ernie Djohan yang memang mahir berbahasa Inggris, hanya beberapa saja dari mereka yang sebenarnya ‘layak’ mengikuti trend itu! Kebanyakan artis-artis tersebut tidak mampu (tidak seharusnya!) menyenandungkan syair-syair lagu dalam bahasa itu, karena mereka sama sekali tidak mengenal atau menguasainya. Pelafalan mereka terkesan berlogat ‘daerah’ yang sangat kental, menyebabkan syair-syair lagu yang mereka dendangkan terdengar ‘asing’ dan sukar sekali untuk dimengerti!

Lilis Suryani menyadari kekurangannya di situ. Oleh karena itu ia tidak pernah mau bertindak ‘ngawur, hanya untuk bisa mengikuti arus yang sedang populer itu.

Sedari mula tidak pernah ia mau menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Inggris. Tetapi ia berani merekam lagu-lagu dalam bahasa asing lainnya (Jepang dan Italia) yang pelafalannya tidak bisa dibuktikan keliru oleh para pendengarnya. Karena Lilis tahu, di Indonesia bahasa-bahasa asing tersebut memang kurang lumrah, sehingga kebanyakan orang tidak mengenalnya!

(To be continued)

Nathan Mintaraga
Desember 2013

Catatan:

1 EP (Extended Play) adalah album mini PH (Piringan Hitam) yang biasanya memuat maksimum empat lagu. Diputar dengan kecepatan 45 RPM (Remixes Per Minute). Populer sekali di era itu sampai kurang lebih akhir dasawarsa ke-60

2 LP (Long Play) adalah album PH (Piringan Hitam) yang biasanya memuat delapan lagu dengan maksimum 12 lagu. Diputar dengan kecepatan 33 1/3 RPM (Remixes Per Minute)

3 Oleh karena judul sebuah album pada waktu itu tidak begitu lazim, nama lagu yang paling termasyhur dari album tersebut ditambahkan begitu saja di dalam artikel ini sebagai judul albumnya hanya untuk membedakannya dari album-album yang lain

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Download lagu-lagu:
  • Sukiyaki (mp3)
(Syair lagu-lagu Lilis Suryani menurut urutan alfabet bisa ditemukan di sini)

No comments:

Post a Comment