Wednesday, January 15, 2014

28.2 'Oriental'-Isme (2)

‘ORIENTAL’-ISME (2)
KUTSUKAKE TOKIJIRO
Oleh: Nathan Mintaraga

Tahun 1969 juga ditandai oleh munculnya banyak duet antara biduan dan biduanita yang sebelumnya secara solo sudah dikenal di Indonesia. Partnership pertama yang ‘tak terduga’ pada waktu itu adalah antara artis remaja baru, Titiek Sandhora, dengan Muchsin, seorang penyanyi kawakan yang sudah cukup lama tanpa hasil berkecimpung di dunia musik dangdut nasional. Gara-gara ketenaran Titiek Sandhora sebagai penyanyi pop yang saat itu sedang naik daun, persekutuan mereka membantu membuat namanya ikut menonjol di arus utama dunia musik nasional.

Sekalipun partnership tersebut diprakarsai oleh Remaco, ternyata berdua mereka berhasil membentuk grup duet paling termasyhur tahun itu, mempengaruhi suatu kecenderungan yang berlangsung hampir tiga tahun lamanya. Partnership Muchsin-Titiek Sandhora bertahan lama sekali, bahkan bukan hanya di bidang musik saja, tetapi juga akhirnya sebagai sepasang suami-istri.

Grup duet cukup terkenal lainnya yang dibentuk oleh Remaco untuk mengikuti trend yang sedang populer itu adalah antara Tetty Kadi dan Alfian, Inneke Kusumawati dan Oma Irama, Vivi Sumanti dan Frans Daromes, Emilia Contessa dan Broery Marantika, Ernie Djohan dan Oslan Husein, Ida Rojani dan Benjamin S, Mus Mulyadi dan Laily Dimjathie (atau Mus Mulyadi dan Titiek Sandhora), dan masih banyak lainnya.

Bahkan ketika masa keemasan karier musik Lilis Suryani di Indonesia sudah memudar, ia sempat berduet dengan Suhaeri Mufti, merekam album-album tradisional Betawi. Tetapi seperti album mereka (LP) 1, ‘Muara Karang’ (Diastar), semuanya hanya mendapat sambutan dari penduduk lokal Jawa Barat saja.

Di samping itu tahun 1969 juga ditandai oleh ‘kebangkitan’ suatu kebiasaan (buruk!) yang pernah melanda dunia musik pop Indonesia di awal dasawarsa tersebut, di mana banyak artis merekam lagu-lagu asing yang diterjemahkan, terutama lagu-lagu barat. Dua lagu di antaranya yang paling dikenal tahun 1963/1964 adalah Hey Paula (Remaco) dari Ireng dan Alice Iskak, serta Gadis Sukiyaki (Irama Records) dari Karsono Bersaudara, yang diterjemahkan berdasarkan versi Inggris yang dibawakan oleh grup Belanda, The Blue Diamonds. (Lihat artikel: Adillah (2) – Menentang Arus)

Demikian juga kebiasaan berdasarkan tradisi musik barat (Country Western) pada waktu itu di mana lagu-lagu disenandungkan dua kali oleh penyanyi-penyanyi pria dan wanita, tetapi dengan syair-syair yang berbeda. Yang paling dikenal sering melakukan hal itu semenjak tahun 1963 adalah Rachmat Kartolo dan Wilsa Thyssen. Lagu-lagu mereka, Patah Hati dan jawabannya Hatikupun Risau, atau Kasih Kembalilah serta jawabannya Ku Kan Kembali, sekalipun dicap sebagai lagu-lagu ‘cengeng’, cukup dikenal sebagai lagu-lagu yang berasal dari era tersebut. Demikian juga lagu Pusara Tjintaku, lagu yang disajikan persis lagu barat termasyhur nyanyian Skeeter Davis dan Bobby Bare, A Dear John Letter. Keduanya hasil produksi Irama Records.

Ternyata kebiasaan-kebiasaan itu dimulai lagi oleh Titiek Sandhora tahun 1969! Di samping merekam lagu-lagu terjemahan secara solo, bersama Muchsin ia merilis banyak sekali lagu-lagu terjemahan, dan juga lagu-lagu yang bersifat tanya-jawab! Di antaranya lagu Belanda termasyhur Warom Huil Je? yang diterjemahkan menjadi lagu-lagu Mengapa Kau Menangis? (Muchsin) dan Biarkan Kumenangis (Titiek Sandhora) sebagai jawabannya.

Atau berduet mereka merekam lagu barat termasyhur tahun 60-an, More Than I Can Say dari Bobby Vee, yang diterjemahkan menjadi lagu Burung Murai, dan lain sebagainya.

Tetapi yang paling mengesankan, yang berhasil menandai perubahan yang terjadi tahun itu, adalah munculnya untuk pertama kali lagu-lagu oriental terjemahan yang menjadi sangat termasyhur di tanah air, dimulai oleh sebuah lagu yang dirilis oleh Titiek Sandhora.

Diiringi oleh orkes Zaenal Combo, artis remaja itu merilis album (LP), ‘Fujiyama’ 2 (1969) di bawah label Mutiara (Remaco). Sekalipun sebelumnya ia sudah merilis dua buah album lain yang cukup berhasil, di antaranya ‘Si Bontjel’ (Remaco), bersama orkes Empat Nada di bawah pimpinan Jadin dan A Riyanto, album ‘Fujiyama’-lah yang membuat namanya secara instan sangat dikenal di seluruh Nusantara.

Selain lagu Bole Bole Djangan yang menjadi hit dari album itu, sebuah lagu Jepang yang dibawakan oleh penyanyi termasyhur Nippon era tersebut, Hashi Yukio: Kutsukake Tokijiro, ‘dipinjam’ melodinya oleh A Riyanto lalu dibubuhi syair hasil karyanya, dijadikan sebuah lagu berbahasa Indonesia yang berjudul Fujiyama. Lagu tersebut menjadi hit yang besar sekali tahun itu, didukung dan dikumandangkan di mana-mana oleh semua radio negara (RRI) dan juga radio-radio swasta tanah air.

Ternyata lagu Fujiyama mengawali suatu trend baru yang secara instan melanda dunia musik pop nasional pada waktu itu. Sampai tahun 1971, di samping banyak lagu barat terkenal yang diterjemahkan secara bebas, lagu-lagu dengan irama oriental semacam itulah yang laku keras, sehingga artis-artis lama (dan baru) mau-tak-mau mengikuti arus trend yang sedang populer tersebut. Lagu-lagu termasyhur berbahasa Cina atau Jepang diterjemahkan (diganti) syairnya, direkam dan dirilis sebagai lagu-lagu Indonesia.

Beberapa di antaranya yang paling dikenal oleh masyarakat Indonesia era itu adalah Si Tjantik Djelita, terjemahan sebuah lagu Nippon lainnya dari artis kuno Misora Hibari, ‘Shina No Yoru’, serta Air Mata Kekasih, yang diterjemahkan dari sebuah lagu Mandarin, ‘Fu Xin De Ren’. Pada waktu itu kedua lagu aslinya sudah sangat termasyhur di Asia Tenggara.

Yang pertama berasal dari album (LP) Titiek Sandhora, ‘Si Tjantik Djelita’ (1970) yang dirilis di bawah label Mutiara (Remaco). Yang kedua adalah lagu dari album kompilasi (LP) tiga artis remaja: Tetty Kadi, Anna Mathovani dan Christine, ‘Air Mata Kekasih’ (1970), juga dari tahun 1970, hasil produksi Diamond Record (Remaco). Lagu yang menjadi judul album dan yang dibawakan oleh artis baru Christine itulah yang menjadi satu-satunya lagu yang paling terkenal dari album tersebut, direkam diiringi oleh band D’Strangers dibawah pimpinan Bob Tutupoly.

Dari tahun 1969 sampai 1971 masih banyak lagu oriental lainnya yang diterjemahkan dan dirilis, bukan hanya oleh artis-artis baru saja, tetapi juga oleh mereka yang sudah mapan dan terkenal.

Semua itu disebabkan oleh karena semenjak pertengahan dasawarsa ke-60, gara-gara Indonesia dibanjiri oleh film-film oriental (Jepang, Hong Kong dan Taiwan) yang memang pada waktu itu mempunyai jumlah fans yang sangat besar di Asia Tenggara, terjadilah perubahan-perubahan selera di bidang musik nasional. Masyarakat Indonesia yang dulunya hanya mau memeluk irama-irama musik populer dari barat saja, mulai terpengaruh dan terbiasa dengan lagu-lagu yang berirama unik tersebut.

Ternyata itulah masa perubahan era yang mempersiapkan penampilan biduan/biduanita ‘keturunan’ seperti Inneke Kusumawati dan Ervinna, yang semenjak pertengahan pertama dekade ke-70 mempunyai kelompok fans tersendiri (terutama Ervinna), dan menjadi artis-artis rekaman yang sangat sukses dan digemari di Indonesia. Fans yang akhirnya membantu lagu-lagu oriental seperti Kokoro No Tomo dari Mayumi Itsuwa menjadi sebuah hit yang sangat besar di Indonesia awal pertengahan pertama dekade ke-80!

Nathan Mintaraga
Januari 2014

Catatan:

1 LP (Long Play) adalah album PH (Piringan Hitam) yang biasanya memuat delapan lagu dengan maksimum 12 lagu. Diputar dengan kecepatan 33 1/3 RPM (Remixes Per Minute)

2 Oleh karena judul sebuah album pada waktu itu tidak begitu lazim, nama lagu yang paling termasyhur dari album tersebut ditambahkan begitu saja di dalam artikel ini sebagai judul albumnya hanya untuk membedakannya dari album-album yang lain

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Download lagu-lagu:
(Syair lagu-lagu Lilis Suryani menurut urutan alfabet bisa ditemukan di sini)

No comments:

Post a Comment