‘ORIENTAL’-ISME (1)
PERGANTIAN ERA
Oleh: Nathan Mintaraga
Tahun 1969 adalah tahun yang mengawali suatu era baru di dunia musik populer Indonesia, yang mau-tidak-mau mempengaruhi perkembangan karier musik ketiga artis paling unggul saat itu: Ernie Djohan, Tetty Kadi dan Lilis Suryani. Tahun itu ditandai dengan munculnya banyak sekali biduan/biduanita (remaja)
dari berbagai daerah di tanah air, bahkan daerah-daerah pedalaman, yang
berlomba-lomba menjadi artis-artis rekaman bertaraf nasional.
Kalau sebelumnya industri tersebut selalu didominasi oleh penyanyi-penyanyi yang hanya berasal dari (atau bermukim di) Jawa Barat saja, kebanyakan dari kota Jakarta atau Bandung, mulai tahun itu mereka sudah tidak dibatasi oleh kedua kota itu lagi.
Oleh
karena itu, awalnya untuk bisa merealisasikan ambisi di bidang musik,
banyak artis harus meninggalkan daerah asal mereka untuk bermukim di ibu
kota. Titiek Puspa, Bing Slamet, Oslan Husein, Alfian, Pattie Bersaudara, Bob Tutupoly, Elly Kasim, Norma dan Sandra Sanger, Tuty Subardjo, Onny Surjono, Sitompul Bersaudara, Dara Puspita
dan masih banyak yang lain, adalah artis-artis pop era itu yang
berhasil mapan di bidang tersebut setelah terlebih dahulu pindah ke kota Jakarta.
Tetapi perkecualian tentu ada! Harry Noerdie, salah seorang dari
artis-artis piringan hitam pria yang paling termasyhur di Indonesia
dasawarsa tersebut, yang kendatipun hanya meluncurkan dua album mini (EP) 1 saja, berhasil mencapai kesuksesan tersebut tanpa meninggalkan kota kelahirannya, Surabaya.
Kedua albumnya, yang masing-masing berisi empat lagu hasil ciptaannya sendiri, dirilis oleh Remaco. Album yang pertama berjudul ‘Tjinta Mesraku’ (1965), diiringi oleh orkes Pelangi di bawah pimpinan Itje. Yang kedua, ‘Lagu Kesajangan’ (1966), dirilis tahun berikutnya dengan iringan Kwintet Mus Mustafa yang dipimpin oleh Mus Mustafa.
Ketika baru saja diluncurkan, secara nasional keduanya menjadi sukses
sekali, mencetak banyak hits yang tak terlupakan. Bahkan album
perdananya, ‘Tjinta Mesraku’, membuahkan lagu Andaikan, yang menjadi Signature Song-nya, dan yang sekarang sudah diakui sebagai salah satu ‘lagu abadi’ era itu.
Berbeda dengan masa yang sudah ‘berlalu’ itu, berkat jasa orkes-orkes legendaris seperti Zaenal Combo dan Empat Nada
menjelang pergantian dekade itu sampai pertengahan pertama tahun 70-an,
banyak artis remaja bermunculan di pasaran musik pop dari berbagai
daerah (terpencil) yang sebelumnya, tanpa bantuan serta tuntunan
mereka, tidak pernah mempunyai harapan untuk bisa merintis karier musik
di arena itu.
Di antaranya yang menjadi termasyhur di Indonesia mulai tahun 1969 dan seterusnya adalah Titiek Sandhora (Bentan, Jawa Tengah), Vivi Sumanti (Ujung Pandang, Sulawesi Selatan), Arie Koesmiran (Sidoarjo, Jawa Timur), Emilia Contessa (Banyuwangi, Jawa Timur), Tanti Yosepha (Solo, Jawa Tengah), Helen Sparingga (Sidoarjo, Jawa Timur), Mus Mulyadi (Surabaya, Jawa Timur), Broery Marantika (Ambon, Maluku) dan lain sebagainya.
Belum lagi para artis remaja yang cukup ternama ditahun-tahun sebelumnya hanya oleh karena sebuah lagu saja (one hit wonders).
Tahun itu banyak di antara mereka yang mendadak muncul lagi dan menjadi
terkenal! Setelah menghilang hampir tiga tahun lamanya, berkat
bimbingan Zaenal Arifin dan orkesnya, Anna Mathovani yang pernah populer tahun 1966 gara-gara lagu Dikeheningan Malam dari album (LP) 2 ‘Aneka 12 Volume 2’ (Remaco), mengalami kesuksesan baru tahun itu saat meluncurkan album (LP) ‘Antara Pria dan Wanita’ 3, juga di bawah label Remaco.
Dalam waktu yang bersamaan, sekalipun mereka tidak mengalami kesuksesan yang masal di tanah air, hal yang serupa juga terjadi pada dua artis ‘lama’ lainnya: Ida Royani dan Fenty Effendi.
Oleh
karena banyaknya keaneka-ragaman artis-artis yang tiba-tiba tampil dari
mana-mana, keadaan dunia musik pop Indonesia pada waktu itu menjadi
berubah sekali. Kalau sebelumnya artis-artis ‘luar biasa’ seperti Lilis Suryani bisa ‘seorang diri’
menguasai puncak industri itu dari tahun 1963 hingga 1966, lalu Tetty
Kadi dari tahun 1966 sampai Ernie Djohan mengambil alih kedudukannya
tahun 1967, yang setelah itu berhasil mempertahankannya hingga tahun
1968, oleh karena banyaknya suplai artis-artis baru, tampaknya
kesempatan unik seperti itu sudah tak mungkin bisa terulang lagi!
Ketiga ‘Divas’ yang paling ‘ngetop tersebut harus membagi ‘kedudukan’ mereka dengan banyak penyanyi-penyanyi remaja baru yang datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Ketika itu Ernie Djohan, sebagai artis tersibuk yang paling ‘ngetop, merilis dua album (LPs) 2 baru ‘Mutiara jang Hilang’ (Remaco) diiringi oleh band Electrica di bawah pimpinan Iwan Setiawan, dan ‘Merindukan Bulan’ (Remaco) dengan iringan orkes Zaenal Combo. Album yang pertama menghasilkan hits: Mutiara jang Hilang, Sendja di Bina Ria dan Ah Mengapa. Yang kedua: Merindukan Bulan, Bingkisan dari Ibu Kota dan Tinggal Kenangan.
Sedangkan dalam waktu yang bersamaan album baru (LP) Tetty Kadi, ‘Siapa Dia’ (Remaco) yang diiringi oleh orkes Pantja Nada di bawah pimpinan Enteng Tanamal, membuahkan beberapa hits: Pergi ke Bulan, Kota Kembang, Kasih Ibu dan tentu saja, Siapa Dia.
Demikian juga Lilis Suryani yang berhasil menduduki tangga lagu-lagu nasional lagi setelah kedua lagunya, Djanggo dan Bintang Leo, yang menjadi lagu-lagu paling populer dari album kompilasi ‘Ini dan Itu’ (Mesra Record) dirilis di akhir tahun 1968. (Lihat artikel: Menangani ‘Django’ (1) – Dari Sukiyaki ke Django)
Disusul oleh album klasiknya (LP), ‘Air Mata’ 3 (Remaco), yang diluncurkan tidak lama sesudahnya tahun 1969. Beberapa lagu dari album itu menjadi termasyhur sekali, seperti Keliling Dunia, Doa Untukmu, Pulau Kajangan dan sebuah lagu yang menjadi salah satu dari banyak sekali ‘lagu-lagu abadi’ karya Lilis Suryani, Air Mata! Lagu itu membuat karier musiknya ‘ngetop di Indonesia sekali lagi! Kembali Zaenal Combo-lah yang mengiringi Lilis merekam kedua album tersebut. (Lihat artikel: Air Mata ‘Abadi’ – ‘Ngetop Lagi!)
(To be continued)
Nathan Mintaraga
Januari 2014
Catatan:
1 EP (Extended Play) adalah album mini PH (Piringan Hitam) yang biasanya memuat maksimum empat lagu. Diputar dengan kecepatan 45 RPM (Remixes Per Minute). Populer sekali di era itu sampai kurang lebih akhir dasawarsa ke-60
2 LP (Long Play) adalah album PH (Piringan Hitam) yang biasanya memuat delapan lagu dengan maksimum 12 lagu. Diputar dengan kecepatan 33 1/3 RPM (Remixes Per Minute)
3 Oleh
karena judul sebuah album pada waktu itu tidak begitu lazim, nama lagu
yang paling termasyhur dari album tersebut ditambahkan begitu saja di
dalam artikel ini sebagai judul albumnya hanya untuk membedakannya dari
album-album yang lain
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Download lagu-lagu:
Djanggo (mp3)
Bintang Leo (mp3)
Andaikan (mp3) – Harry Noerdie
Aku Mentjari (mp3) – Harry Noerdie
Tjinta Mesraku (mp3) – Harry Noerdie
Lagu Kesajangan (mp3) – Harry Noerdie
Dikeheningan Malam (mp3) – Anna Mathovani
Mutiara jang Hilang (mp3) – Ernie Djohan
Sendja di Bina Ria (mp3) – Ernie Djohan
Ah Mengapa (mp3) – Ernie Djohan
Merindukan Bulan (mp3) – Ernie Djohan
Bingkisan dari Ibu Kota (mp3) – Ernie Djohan
Tinggal Kenangan (mp3) – Ernie Djohan
Pergi ke Bulan (mp3) – Tetty Kadi
Kota Kembang (mp3) – Tetty Kadi
Kasih Ibu (mp3) – Tetty Kadi
Siapa Dia (mp3) – Tetty Kadi
(Syair lagu-lagu Lilis Suryani menurut urutan alfabet bisa ditemukan di sini)
No comments:
Post a Comment